PENCIPTAAN
DAN KESELAMATAN
Dalam
TERANG FILSAFAT
AUGUSTINUS
I.
PENDAHULUAN
Augustinus
adalah seorang filsuf sekaligus teolog yang sangat produktif. Prinsip
filsafatnya adalah doktrin bahwa kebijaksaan hanya dapat diraih melalui iman.
Dia melihat bahwa agama dan filsafat memiliki kesamaan yakni mengejar kebenaran
sejati. Filsuf tanpa iman adalah mati dan tidak akan dapat mencapai kebenaran
sejati. Pikiran memang dapat menjangkau kebenaran tetapi tidak bersifat sejati.
Karena bagi Augustinus meletakan rasio sebagai pelayan iman adalah yang utama.
Kepercayaan
bahwa iman adalah dasar dalam mencari kebenaran, maka Augustinus berusaha
mengarahkan segalanya hanya kepada Allah. Dia menguraikan berbagai hal dalam pandangan
filsafatnya yakni yang paling terkenal Confessions dan City of God. Beberapa
pokok pikiran yang terdapat di dalamnya akan di bahas dan diuraikan, namun
tidak secara mendalam. Yang hendak dibahas ialah: apakah dunia diciptakan tanpa
menggunakan materi tertentu? Bagaimana pandangan para filsuf Yunani yang
mengatakan bahwa dunia diciptakan dengan menggunakan materi seperti air, tanah
dan udara? Jika dunia diciptakan tidak menggunakan materi tertentu, maka apa
yang sesungguhnya digunakan untuk menciptakan dunia? Apakah keselamatan
bersifat utuh? Apakah keselamatan berada di dalam dimensi waktu? Apakah
keselamatan hanya merupakan upaya manusia belaka tanpa campur tangan Allah?
Apakah keselamatan itu ada bagi mereka yang berharap? Inilah beberapa persoalan
yang mendorong rasa keingintahuan penulis untuk mengetahui lebih jauh karya
penciptaan dan keselamatan dalam terang filsafat Augustinus.
II.
PENCIPTAAN
A.
CRETIO EX NIHILO
Menurut
Augustinus dunia ini adalah bentuk pengejawantahan dan gambaran nyata dari
ide-ide. Dengan kata lain, dunia diciptakan sesuai dengan rancangan atau
ide-ide yang ada dalam budi Allah. Penciptaan tersebut bersifat cretio
exnihilio yakni menciptakan tanpa menggunakan sesuatu, menciptakan dari yang
tidak ada.[1]
Pandangan ini berbeda dengan pandangan para filsuf Yunani yang mengatakan bahwa
dunia diciptakan dengan menggunakan materi. Dalam pandangan tersebut, alam
semesta berasal dari bahan atau materi tertentu, misalnya dari air (Thales),
udara (Anaximenes), dan api (Herakleitos).[2]
Bagi Augustinus karya penciptaan tetap bersifat cretio exnihilio sebab, Allah
menyelenggarakan penciptaan (creatio) dengan tidak memakai bahan apa pun,
melainkan dari ketiadaan (ex nihilo).[3]
Hal ini berarti, tidak ada materi, ruang dan waktu sebelum terjadinya
penciptaan. Dengan demikian, Allah menciptakan segala sesuatu dengan
perantaraan Logos.
B.
KARYA PENCIPTAAN MELENGKAPI TEORI
EVOLUSI
Teori
evolusi berpendapat bahwa makhluk yang derajatnya lebih tinggi merupakan hasil
perkembangan dari makhluk yang lebih rendah derajatnya. Jika demikian, teori
evolusi dalam mencari asal-usul dan tujuan segala makhluk yang ada akan menemui
kesulitan, sebab teori ini tidak tahu dari manakah makhluk yang pertama berasal
dan kemanakah nanti makhluk yang terdepan? Jawaban dari kedua pertanyaan ini
tidak dapat ditemukan. Terutama teori ini juga telah menolak pandangan bahwa
perkembangan sejarah bersifat siklis yakni bergerak seperti lingkaran yang pada
akhirnya makhluk berderajat paling tinggi akan berputar dan berubah menjadi
makhluk berderajat paling rendah, dan seterusnya.
Ajaran
Augustinus menerima adanya perkembangan dalam proses terjadinya segala sesuatu
yakni evolusi, namun dia lebih menekankan bahwa asal dan tujuan dari segala
sesuatu adalah Allah Pencipta. Makhluk berderajat paling rendah disejajarkan
dengan rationes seminales yang akan masih berkembang, sedangkan tujuan dari makhluk
berderajat paling tinggi adalah Allah. Dengan kata lain, Allah adalah tujuan
terakhir dari semua makhluk hidup.[4]
Akhirnya, pandangan Augustinus tentang penciptaan telah menjawab pertanyaan
buntu yang dialami teori evolusi sekaligus melengkapi teori tersebut.
C.
PENCIPTAAN YANG PUDAR KARENA DOSA
Dalam
filsafat Augustinus mengenai De civitate dei, dia menguraikan bagaimana manusia
jatuh ke dalam dosa akibat perbuatan Adam. Perbuatan tersebut mendatangkan
kematian kekal pada seluruh umat manusia. Bagi Augustinus dengan mengkonsumsi
buah terlarang bukan hanya mengakibatkan kematian alami, melainkan juga
mengakibatkan kematian kekal yakni kutukan.[5]
Penciptaan
yang diselanggarakan oleh Allah pudar karena dosa manusia. Allah memberikan
kebebasan kepada manusia untuk memuji dan memuliakan Dia. Namun kebebasan itu
disalahgunakan oleh manusia dengan memilih melawan Allah. Perlawanan manusia
inilah yang disebut sebagai dosa. Perbuatan ini dikisahkan secara nyata dalam Kitab
Kejadian. Dosa berakar di hati manusia dan membuat dirinya berdaulat dalam
kebebasan. Kebebasan ini disalahgunakan sehingga “dari hati datanglah pikiran
jahat, pembunuhan, perzinahan, pemerkosaan, pencurian dan lain-lain. Manusia
perlahan memisahkan diri dari Allah melalui dosa. Dosa merupakan isolasi
radikal yang membuat manusia jauh dari sumber kehidupan dan membuat dirinya
sebagai tujuan serta pusat hidup dari segala tindakan.
Dosa
tidak hanya berdampak pada hubungan pribadi sebagaimana yang dikatakan Augustinus
yakni keinginan daging, kenginginan mata, dan keangkuhan.[6] Tetapi
juga mengejawantah dalam masyarakat luas seperti kebencian, kedengkian,
kemalasan, percabulan, permusuhan, perang, bahkan pembunuhan, sebagaimana dalam
Kitab Kejadian dosa di taman Firdaus yang diikuti oleh pembunuhan Habel. Dosa merupakan simbol keruntuhan dunia[7]
sekaligus pemutus relasi intim antara Allah dan manusia.
D.
PENCIPTAAN BARU DI DALAM KASIH
Dalam
pandangan filsafat Augustinus mengenai kontroversi Pelagian, menegaskan bahwa
sebelum Adam jatuh ke dalam dosa pernah memiliki kehendak bebas dan bisa lepas
dari dosa. Namun Adam dan Hawa mengkonsumsi buah terlarang maka kerusakan pun
terjadi serta merasuki mereka. Dampak dari perbuatan ini terwariskan kepada
anak keturunannya sehingga tidak seorang pun dari mereka dapat terbebas dari
dosa karena upayanya sendiri. Pandangan ini sungguh berbeda dengan pandangan
Pelagius[8]
yang mengatakan bahwa manusia dilahirkan tanpa dosa turunan dan memiliki
kehendak bebas untuk menentukan apakah akan berbuat baik dengan akibat surga
atau berbuat dosa dengan akibat neraka.[9] Bagi
Pelagius dan para pengikutnya berkeyakinan bahwa jika manusia bertindak utama
atau berbuat baik serta setia terhadap ajaran maka akibat dari perbuatan moral
tersebut adalah mendapatkan surga.
Augustinus
menentang pandangan tersebut serta menganggapnya sangat subversif dan sesat. Bagi
dia, penyesalan bukan menjadi jalan satu-satunya yang menjamin seseorang menuju
surga melainkan melalui pembabtisan dan rahmat kasih Allah maka memungkinkan seseorang
terbebas dari dosa asal dan menjadi saleh sehingga memperoleh surga.
III.
KESELAMATAN
A.
KESELAMATAN BERSIFAT UTUH
Karya
keselamatan yang diselanggarakan oleh Allah dan mencapai pemenuhannya di dalam
Yesus Kristus bukan sekedar keselamatan biasa, melainkan keselamatan yang
bersifat utuh dan masih berlangsung serta tetap dinantikan.[10]
Keselamatan tersebut melampaui dimensi waktu yakni waktu silam, kini dan akan
datang. Sebagaimana diuraikan dalam filsafat Augustinus mengenai waktu, memuat
keyakaninan bahwa pengalaman akan waktu bukan saja merupakan hasil suatu proses
kesadaran manusia akan pengalaman hidup, melainkan juga refleksi atas pemahaman
mendasar manusia akan waktu dalam posisinya sebagai makhluk yang mempunyai
hubungan erat dengan sang kebenaran abadi atau Allah.[11]
B.
MEMORI AKAN KESELAMATAN
Memori
akan keselematan yang terjadi dalam Perjanjian Lama oleh Allah terhadap bangsa
Israel merupakan peristiwa keselamatan transendens yang amat penting bagi
terpenuhinya rencana Allah bagi umat pilihan.[12]
Dalam rangka keselamatan tersebut maka Allah menggunakan Musa sebagai
perantara. Musa memakai cara-cara kemanusiaan dan politik guna membawa
keluar bangsa Israel dari Mesir. Meskipun dalam upaya tersebut amat terlihat
tindakan manusia namun mereka tidak ragu-ragu untuk percaya bahwa Yahwehlah
yang bertindak membebaskan mereka dari perbudakan Mesir. Tindakan keselamatan
tersebut dilihat sebagai kenangan atau ingatan yang terjadi dan seolah-olah
hadir kembali dalam kejadian yang sebenarnya sudah berlalu.[13]
C.
KESELAMATAN YANG SEDANG BERLANGSUNG
Peristiwa
keselamatan yang terjadi dan terus berlangsung membuat kita memahami secara
obyektif ciri khas tindakan sejarah keselamatan dari segi iman seperti mengakui
kebangkitan Yesus sebagai peristiwa mujizat yang paling penting atau rangkaian
peristiwa lainnya. Pemahaman ini menumbuhkan tindakan obyektif iman dan
sekaligus dilihat sebagai tindakan yang dikerjakan oleh Allah pada saat ini.[14]
Tindakan tersebut juga mengungkapkan bagaimana kehadiran Allah menjadi aktual
dan efektif bagi kita. Menurut Augustinus gambar atau pengalaman tersebut
selanjutnya dihadirkan atau dimasakinikan sehingga seluruh karya Allah dapat
dirasakan dalam kehidupan real.
D.
KESELAMATAN YANG DINANTIKAN
Harapan
akan keselamatan yang terjadi pada akhir zaman membuat kita terus berusaha
hidup saleh dan terus mencari sang kebenaran sejati. Kita tidak perlu bersikap
diam dan apatis terhadap situasi yang terjadi di sekitar kita. sebab untuk
memenuhi kerinduan harapan tersebut kita perlu merealisasikan keberimanan kita
dengan membantu sesama yang membutuhkan. Kerap kali, tindakan yang kita lakukan
mengalami tantangan, namun itu bukan menjadi hambatan sebab hanya Allah yang
mampu menilai tindakan tersebut.
Pandangan
Augustinus mengenai waktu terutama masa depan, Allah dilihat bukan sebagai
suatu prinsip metafisik-abstrak atau semacam daya kosmis, melainkan Allah yang
personal, yang menyapa manusia dan mengarahkan hidupnya serta Allah yang
terlibat dalam sejarah.[15]
Sejarah keselamatan yang diselanggarakan oleh Allah menumbuhkan kerinduan di
dalam hati manusia akan keabadian atau kebakaan. Sebab jiwa manusia akan
beristirahat bila diarahkan hanya kepada Allah sebagai sumber kehidupan.
IV.
KESIMPULAN
Karya
penciptaan dan keselamatan yang dilakukan oleh Allah merupakan rangkaian utuh
yang berada dalam dimensi waktu. Penciptaan tidak terlepas dari keselamatan
karena Allah menciptakan untuk diselamtakan bukan dibiarkan. Walaupun
penciptaan itu pudar karena dosa manusia terutama dosa asal yang dilakukan oleh
Adam dan Hawa yang mengkonsumsi buah terlarang, namun Allah tetap setia
menyelamatkan ciptaan-Nya dan menjaga serta memelihara mereka. Allah tidak
menghendaki manusia terus jatuh ke dalam dosa sehingga Dia memberi rahmat pengampunan
dan jalan bagi siapa saja yang mau mencari sang kebenaran sejati. Oleh karena
itu, dalam filsafat Augustinus, jiwa manusia hanya merasa tentaram dan damai
bila diarahkan kepada Allah. Sebab sejarah keselamatan yang diselanggarakan
oleh Allah menumbuhkan kerinduan di dalam hati manusia akan keabadian atau
kebakaan.
REFERENSI
Augustinus. Pengakuan-Pengakuan. Yogyakarta: Kanisius, 1997.
Bisei, Abdon. Sejarah Keselamatan Kristiani. Jayapura: Biro Penelitian STFT-FT,
2003.
Brouwer, M.A.W. dan M. Puspa
Heryadi, B.Ph. Sejarah Filsafat Barat
Modern dan
Sezaman.
Bandung:
Alumni, 1986.
Dister, Nico Syukur. Pengantar Teologi. Yogyakarta: Kanisius,
1991.
Groenen OFM. Pengantar ke dalam Perjanjian Baru.Yogyakarta: Kanisius, 1984.
Harjawiyata, Frans OCSO. Yesus dan Situasi Zaman-Nya. Yogyakarta:
Kanisius,1998.
Marsunu, Seto. Dari
Penciptaan Sampai Babel. Yogyakarta: Kanisius, 2008.
Russel Bertrand. Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya Dengan
Kondisi Sosio-Politik
dari
Zaman Kuno Hingga Sekarang, terj. Sigit Jatmiko, et al. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2002.
Yuana, Kumara Ari. The Greatest Philosophers. Yogyakarta:
Andi, 2010.
[1] Nico Syukur Dister, Pengantar Teologi (Yogyakarta: Kanisius,
1991), hal. 43.
[2] M.A.W. Brouwer dan M. Puspa
Heryadi, B.Ph, Sejarah Filsafat Barat
Modern dan Sezaman (Bandung: Alumni, 1986), hal. 2-3.
[3] Augustinus, Pengakuan-Pengakuan (Yogyakarta: Kanisius, 1997), hal. 344-345.
[4] Ibid., hal. 348-349.
[5] Bertrand Russel, Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya Dengan
Kondisi Sosio-Politik dari Zaman Kuno Hingga Sekarang, terj. Sigit Jatmiko,
et al., (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2002), hal. 482.
[6] Augustinus, Op. cit., hal. 311-331.
[7] Seto Marsunu, Dari Penciptaan Sampai Babel (Yogyakarta:
Kanisius, 2008), hal. 127.
[8] Pelagius adalah orang Wales yang
nama aslinya Morgan, yang artinya “manusia laut” sama artinya dengan “Pelagius”
dalam bahasa Yunani.
[9] Kumara Ari Yuana, The Greatest Philosophers (Yogyakarta:
Andi, 2010), hal. 86.
[10] C. Groenen OFM, Pengantar ke dalam Perjanjian Baru (Yogyakarta:
Kanisius, 1984), hal. 387.
[11] Augustinus, Op. cit., hal. 353.
[12] Abdon Bisei, Sejarah Keselamatan Kristiani (Jayapura:
Biro Penelitian STFT-FT, 2003), hal. 8.
[13] Augustinus, Op. cit., hal. 354.
[14] Bdk. Frans Harjawiyata OCSO (ed.), Yesus dan Situasi Zaman-Nya (Yogyakarta:
Kanisius,1998), hal. 132.
[15] Augustinus, Op. cit., hal. 358-359.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar