Rabu, 03 Oktober 2012

PENCIPTAAN DAN KESELAMATAN Dalam TERANG FILSAFAT AUGUSTINUS


PENCIPTAAN DAN KESELAMATAN
Dalam
 TERANG FILSAFAT AUGUSTINUS

I.              PENDAHULUAN
Augustinus adalah seorang filsuf sekaligus teolog yang sangat produktif. Prinsip filsafatnya adalah doktrin bahwa kebijaksaan hanya dapat diraih melalui iman. Dia melihat bahwa agama dan filsafat memiliki kesamaan yakni mengejar kebenaran sejati. Filsuf tanpa iman adalah mati dan tidak akan dapat mencapai kebenaran sejati. Pikiran memang dapat menjangkau kebenaran tetapi tidak bersifat sejati. Karena bagi Augustinus meletakan rasio sebagai pelayan iman adalah yang utama.
Kepercayaan bahwa iman adalah dasar dalam mencari kebenaran, maka Augustinus berusaha mengarahkan segalanya hanya kepada Allah. Dia menguraikan berbagai hal dalam pandangan filsafatnya yakni yang paling terkenal Confessions dan City of God. Beberapa pokok pikiran yang terdapat di dalamnya akan di bahas dan diuraikan, namun tidak secara mendalam. Yang hendak dibahas ialah: apakah dunia diciptakan tanpa menggunakan materi tertentu? Bagaimana pandangan para filsuf Yunani yang mengatakan bahwa dunia diciptakan dengan menggunakan materi seperti air, tanah dan udara? Jika dunia diciptakan tidak menggunakan materi tertentu, maka apa yang sesungguhnya digunakan untuk menciptakan dunia? Apakah keselamatan bersifat utuh? Apakah keselamatan berada di dalam dimensi waktu? Apakah keselamatan hanya merupakan upaya manusia belaka tanpa campur tangan Allah? Apakah keselamatan itu ada bagi mereka yang berharap? Inilah beberapa persoalan yang mendorong rasa keingintahuan penulis untuk mengetahui lebih jauh karya penciptaan dan keselamatan dalam terang filsafat Augustinus.

II.           PENCIPTAAN
A.         CRETIO EX NIHILO
Menurut Augustinus dunia ini adalah bentuk pengejawantahan dan gambaran nyata dari ide-ide. Dengan kata lain, dunia diciptakan sesuai dengan rancangan atau ide-ide yang ada dalam budi Allah. Penciptaan tersebut bersifat cretio exnihilio yakni menciptakan tanpa menggunakan sesuatu, menciptakan dari yang tidak ada.[1] Pandangan ini berbeda dengan pandangan para filsuf Yunani yang mengatakan bahwa dunia diciptakan dengan menggunakan materi. Dalam pandangan tersebut, alam semesta berasal dari bahan atau materi tertentu, misalnya dari air (Thales), udara (Anaximenes), dan api (Herakleitos).[2] Bagi Augustinus karya penciptaan tetap bersifat cretio exnihilio sebab, Allah menyelenggarakan penciptaan (creatio) dengan tidak memakai bahan apa pun, melainkan dari ketiadaan (ex nihilo).[3] Hal ini berarti, tidak ada materi, ruang dan waktu sebelum terjadinya penciptaan. Dengan demikian, Allah menciptakan segala sesuatu dengan perantaraan Logos.

B.          KARYA PENCIPTAAN MELENGKAPI TEORI EVOLUSI
Teori evolusi berpendapat bahwa makhluk yang derajatnya lebih tinggi merupakan hasil perkembangan dari makhluk yang lebih rendah derajatnya. Jika demikian, teori evolusi dalam mencari asal-usul dan tujuan segala makhluk yang ada akan menemui kesulitan, sebab teori ini tidak tahu dari manakah makhluk yang pertama berasal dan kemanakah nanti makhluk yang terdepan? Jawaban dari kedua pertanyaan ini tidak dapat ditemukan. Terutama teori ini juga telah menolak pandangan bahwa perkembangan sejarah bersifat siklis yakni bergerak seperti lingkaran yang pada akhirnya makhluk berderajat paling tinggi akan berputar dan berubah menjadi makhluk berderajat paling rendah, dan seterusnya.
Ajaran Augustinus menerima adanya perkembangan dalam proses terjadinya segala sesuatu yakni evolusi, namun dia lebih menekankan bahwa asal dan tujuan dari segala sesuatu adalah Allah Pencipta. Makhluk berderajat paling rendah disejajarkan dengan rationes seminales yang akan masih berkembang, sedangkan tujuan dari makhluk berderajat paling tinggi adalah Allah. Dengan kata lain, Allah adalah tujuan terakhir dari semua makhluk hidup.[4] Akhirnya, pandangan Augustinus tentang penciptaan telah menjawab pertanyaan buntu yang dialami teori evolusi sekaligus melengkapi teori tersebut.

C.          PENCIPTAAN YANG PUDAR KARENA DOSA
Dalam filsafat Augustinus mengenai De civitate dei, dia menguraikan bagaimana manusia jatuh ke dalam dosa akibat perbuatan Adam. Perbuatan tersebut mendatangkan kematian kekal pada seluruh umat manusia. Bagi Augustinus dengan mengkonsumsi buah terlarang bukan hanya mengakibatkan kematian alami, melainkan juga mengakibatkan kematian kekal yakni kutukan.[5]
Penciptaan yang diselanggarakan oleh Allah pudar karena dosa manusia. Allah memberikan kebebasan kepada manusia untuk memuji dan memuliakan Dia. Namun kebebasan itu disalahgunakan oleh manusia dengan memilih melawan Allah. Perlawanan manusia inilah yang disebut sebagai dosa. Perbuatan ini dikisahkan secara nyata dalam Kitab Kejadian. Dosa berakar di hati manusia dan membuat dirinya berdaulat dalam kebebasan. Kebebasan ini disalahgunakan sehingga “dari hati datanglah pikiran jahat, pembunuhan, perzinahan, pemerkosaan, pencurian dan lain-lain. Manusia perlahan memisahkan diri dari Allah melalui dosa. Dosa merupakan isolasi radikal yang membuat manusia jauh dari sumber kehidupan dan membuat dirinya sebagai tujuan serta pusat hidup dari segala tindakan.
Dosa tidak hanya berdampak pada hubungan pribadi sebagaimana yang dikatakan Augustinus yakni keinginan daging, kenginginan mata, dan keangkuhan.[6] Tetapi juga mengejawantah dalam masyarakat luas seperti kebencian, kedengkian, kemalasan, percabulan, permusuhan, perang, bahkan pembunuhan, sebagaimana dalam Kitab Kejadian dosa di taman Firdaus yang diikuti oleh pembunuhan Habel.  Dosa merupakan simbol keruntuhan dunia[7] sekaligus pemutus relasi intim antara Allah dan manusia.

D.         PENCIPTAAN BARU DI DALAM KASIH
Dalam pandangan filsafat Augustinus mengenai kontroversi Pelagian, menegaskan bahwa sebelum Adam jatuh ke dalam dosa pernah memiliki kehendak bebas dan bisa lepas dari dosa. Namun Adam dan Hawa mengkonsumsi buah terlarang maka kerusakan pun terjadi serta merasuki mereka. Dampak dari perbuatan ini terwariskan kepada anak keturunannya sehingga tidak seorang pun dari mereka dapat terbebas dari dosa karena upayanya sendiri. Pandangan ini sungguh berbeda dengan pandangan Pelagius[8] yang mengatakan bahwa manusia dilahirkan tanpa dosa turunan dan memiliki kehendak bebas untuk menentukan apakah akan berbuat baik dengan akibat surga atau berbuat dosa dengan akibat neraka.[9] Bagi Pelagius dan para pengikutnya berkeyakinan bahwa jika manusia bertindak utama atau berbuat baik serta setia terhadap ajaran maka akibat dari perbuatan moral tersebut adalah mendapatkan surga.
Augustinus menentang pandangan tersebut serta menganggapnya sangat subversif dan sesat. Bagi dia, penyesalan bukan menjadi jalan satu-satunya yang menjamin seseorang menuju surga melainkan melalui pembabtisan dan rahmat kasih Allah maka memungkinkan seseorang terbebas dari dosa asal dan menjadi saleh sehingga memperoleh surga.

III.        KESELAMATAN
A.           KESELAMATAN BERSIFAT UTUH
Karya keselamatan yang diselanggarakan oleh Allah dan mencapai pemenuhannya di dalam Yesus Kristus bukan sekedar keselamatan biasa, melainkan keselamatan yang bersifat utuh dan masih berlangsung serta tetap dinantikan.[10] Keselamatan tersebut melampaui dimensi waktu yakni waktu silam, kini dan akan datang. Sebagaimana diuraikan dalam filsafat Augustinus mengenai waktu, memuat keyakaninan bahwa pengalaman akan waktu bukan saja merupakan hasil suatu proses kesadaran manusia akan pengalaman hidup, melainkan juga refleksi atas pemahaman mendasar manusia akan waktu dalam posisinya sebagai makhluk yang mempunyai hubungan erat dengan sang kebenaran abadi atau Allah.[11]

B.          MEMORI AKAN KESELAMATAN
Memori akan keselematan yang terjadi dalam Perjanjian Lama oleh Allah terhadap bangsa Israel merupakan peristiwa keselamatan transendens yang amat penting bagi terpenuhinya rencana Allah bagi umat pilihan.[12] Dalam rangka keselamatan tersebut maka Allah menggunakan Musa sebagai perantara.  Musa memakai  cara-cara kemanusiaan dan politik guna membawa keluar bangsa Israel dari Mesir. Meskipun dalam upaya tersebut amat terlihat tindakan manusia namun mereka tidak ragu-ragu untuk percaya bahwa Yahwehlah yang bertindak membebaskan mereka dari perbudakan Mesir. Tindakan keselamatan tersebut dilihat sebagai kenangan atau ingatan yang terjadi dan seolah-olah hadir kembali dalam kejadian yang sebenarnya sudah berlalu.[13]

C.            KESELAMATAN YANG SEDANG BERLANGSUNG
Peristiwa keselamatan yang terjadi dan terus berlangsung membuat kita memahami secara obyektif ciri khas tindakan sejarah keselamatan dari segi iman seperti mengakui kebangkitan Yesus sebagai peristiwa mujizat yang paling penting atau rangkaian peristiwa lainnya. Pemahaman ini menumbuhkan tindakan obyektif iman dan sekaligus dilihat sebagai tindakan yang dikerjakan oleh Allah pada saat ini.[14] Tindakan tersebut juga mengungkapkan bagaimana kehadiran Allah menjadi aktual dan efektif bagi kita. Menurut Augustinus gambar atau pengalaman tersebut selanjutnya dihadirkan atau dimasakinikan sehingga seluruh karya Allah dapat dirasakan dalam kehidupan real.

D.           KESELAMATAN YANG DINANTIKAN
Harapan akan keselamatan yang terjadi pada akhir zaman membuat kita terus berusaha hidup saleh dan terus mencari sang kebenaran sejati. Kita tidak perlu bersikap diam dan apatis terhadap situasi yang terjadi di sekitar kita. sebab untuk memenuhi kerinduan harapan tersebut kita perlu merealisasikan keberimanan kita dengan membantu sesama yang membutuhkan. Kerap kali, tindakan yang kita lakukan mengalami tantangan, namun itu bukan menjadi hambatan sebab hanya Allah yang mampu menilai tindakan tersebut.
Pandangan Augustinus mengenai waktu terutama masa depan, Allah dilihat bukan sebagai suatu prinsip metafisik-abstrak atau semacam daya kosmis, melainkan Allah yang personal, yang menyapa manusia dan mengarahkan hidupnya serta Allah yang terlibat dalam sejarah.[15] Sejarah keselamatan yang diselanggarakan oleh Allah menumbuhkan kerinduan di dalam hati manusia akan keabadian atau kebakaan. Sebab jiwa manusia akan beristirahat bila diarahkan hanya kepada Allah sebagai sumber kehidupan.

IV.        KESIMPULAN
Karya penciptaan dan keselamatan yang dilakukan oleh Allah merupakan rangkaian utuh yang berada dalam dimensi waktu. Penciptaan tidak terlepas dari keselamatan karena Allah menciptakan untuk diselamtakan bukan dibiarkan. Walaupun penciptaan itu pudar karena dosa manusia terutama dosa asal yang dilakukan oleh Adam dan Hawa yang mengkonsumsi buah terlarang, namun Allah tetap setia menyelamatkan ciptaan-Nya dan menjaga serta memelihara mereka. Allah tidak menghendaki manusia terus jatuh ke dalam dosa sehingga Dia memberi rahmat pengampunan dan jalan bagi siapa saja yang mau mencari sang kebenaran sejati. Oleh karena itu, dalam filsafat Augustinus, jiwa manusia hanya merasa tentaram dan damai bila diarahkan kepada Allah. Sebab sejarah keselamatan yang diselanggarakan oleh Allah menumbuhkan kerinduan di dalam hati manusia akan keabadian atau kebakaan.

REFERENSI
Augustinus. Pengakuan-Pengakuan. Yogyakarta: Kanisius, 1997.
Bisei, Abdon. Sejarah Keselamatan Kristiani. Jayapura: Biro Penelitian STFT-FT,
2003.
Brouwer, M.A.W. dan M. Puspa Heryadi, B.Ph. Sejarah Filsafat Barat Modern dan
Sezaman. Bandung: Alumni, 1986.
Dister, Nico Syukur. Pengantar Teologi. Yogyakarta: Kanisius, 1991.
Groenen OFM. Pengantar ke dalam Perjanjian Baru.Yogyakarta: Kanisius, 1984.
Harjawiyata, Frans OCSO. Yesus dan Situasi Zaman-Nya. Yogyakarta:
Kanisius,1998.
Marsunu, Seto.  Dari Penciptaan Sampai Babel. Yogyakarta: Kanisius, 2008.
Russel Bertrand. Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya Dengan Kondisi Sosio-Politik
dari Zaman Kuno Hingga Sekarang, terj. Sigit Jatmiko, et al. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2002.     
Yuana, Kumara Ari. The Greatest Philosophers. Yogyakarta: Andi, 2010.


[1] Nico Syukur Dister, Pengantar Teologi (Yogyakarta: Kanisius, 1991), hal. 43.
[2] M.A.W. Brouwer dan M. Puspa Heryadi, B.Ph, Sejarah Filsafat Barat Modern dan Sezaman (Bandung: Alumni, 1986), hal. 2-3.
[3] Augustinus, Pengakuan-Pengakuan (Yogyakarta: Kanisius, 1997), hal. 344-345.
[4] Ibid., hal. 348-349.
[5] Bertrand Russel, Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya Dengan Kondisi Sosio-Politik dari Zaman Kuno Hingga Sekarang, terj. Sigit Jatmiko, et al., (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hal. 482.
[6] Augustinus, Op. cit., hal. 311-331.
[7] Seto Marsunu, Dari Penciptaan Sampai Babel (Yogyakarta: Kanisius, 2008), hal. 127.
[8] Pelagius adalah orang Wales yang nama aslinya Morgan, yang artinya “manusia laut” sama artinya dengan “Pelagius” dalam bahasa Yunani.
[9] Kumara Ari Yuana, The Greatest Philosophers (Yogyakarta: Andi, 2010), hal. 86.
[10] C. Groenen OFM, Pengantar ke dalam Perjanjian Baru (Yogyakarta: Kanisius, 1984), hal. 387.
[11] Augustinus, Op. cit., hal. 353.
[12] Abdon Bisei, Sejarah Keselamatan Kristiani (Jayapura: Biro Penelitian STFT-FT, 2003), hal. 8.
[13] Augustinus, Op. cit., hal. 354.
[14] Bdk. Frans Harjawiyata OCSO (ed.), Yesus dan Situasi Zaman-Nya (Yogyakarta: Kanisius,1998), hal. 132.
[15] Augustinus, Op. cit., hal. 358-359.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar