KEKERASAN DI NEGARA PANCASILA -
TANAH PAPUA
I.
PENDAHULUAN
Negara
Indonesia merupakan negara Pancasila. Pancasila sebagai sumber dari segala
sumber hukum atau sumber dari tata tertib hukum di Indonesia dan secara yuridis
pula pancasila sah menjadi Dasar Negara Republik Indonesia sehingga seluruh
komponen kehidupan bernegara maupun bermasyarakat haruslah wajib didasari oleh
Pancasila. Namun pada kenyataannya masih banyak terjadi kekerasan
di negara Pancasila dan itu bukanlah hal baru. Kekerasan di negara Pancasila
merupakan kekerasan yang sarat makna. Kekerasan di negara Pancasila terutama di
tanah Papua merupakan sebagian kekerasan dari sekian banyak kekerasan yang ada.
Di sini akan dipaparkan bagaimana kekerasan yang terjadi di tanah Papua dan bagaimana
proses penyelesaiannya. Memang untuk mengupas masalah di Papua bukanlah hal
yang mudah dan gampang. Karena itu, hanya sebagian masalah yang akan dibahas di
sini. Masalah-masalah yang kiranya membuka mata kita untuk memandang ke Timur
jauh Papua.
II.
KEKERASAN
DI NEGARA PANCASILA - TANAH PAPUA
1.
Pancasila
Sebagai Dasar Negara
Pengertian
Pancasila sebagai dasar negara diperoleh dari alinea keempat Pembukaan UUD 1945
dan sebagaimana tertuang dalam Memorandum DPR-GR 9 Juni 1966 yang menyatakan
Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa yang telah dimurnikan dan dipadatkan
oleh PPKI atas nama rakyat Indonesia menjadi dasar negara Republik Indonesia.
Memorandum DPR-GR itu disahkan pula oleh MPRS dengan Ketetapan No.XX/MPRS/1966.
Ketetapan MPR No.V/MPR/1973 dan Ketetapan MPR No.IX/MPR/1978 yang menegaskan
kedudukan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum atau sumber dari
tata tertib hukum di Indonesia. Dengan keputusan ini pula, secara yuridis
pancasila sah menjadi Dasar Negara Republik Indonesia sehingga seluruh komponen
kehidupan bernegara maupun bermasyarakat haruslah wajib didasari oleh
Pancasila. Landasan hukum Pancasila sebagai dasar Negara dapat memberi akibat
hukum dan filosofis; yakni kehidupan bernegara bangsa ini haruslah berpedoman
pada pancasila.
2.
Persatuan
Sebagai Persatean
Persatean
merupakan pembalikan dari Persatuan yang mana istilah ini dipakai untuk
mengkritik persatuan yang merupakan nilai adiluhur bangsa indonesia yang telah
diperjuangkan selama ini. Persatuan yang telah diperjuangkan itu telah pudar
dalam diri bangsa Indonesia karena banyak diwarnai dengan tindakan kekerasan. Pancasila
sebagai dasar negara hanya sebagai alat bagi pemerintah untuk menindas masyarakat.
Persatuan dan kesatuan yang merupakan jalan menuju kemerdekaan sejati, malah
dibalik sebagai jalan penindasan dan penghancuran terhadap harkat dan martabat
masyarakat. Dewasa ini, arti bhineka
tunggal ika “berbeda-beda tetapi satu”
malah diabaikan sehingga perbedaan yang menjadi satu telah dipecah-pecahkan dan
akhirnya perbedaan itu nampak dalam setiap komponen sehingga menghilangkan rasa
persatuan. Ernest
Renan melalui tulisannya yang amat terkenal “What is Nation?”, mengatakan bahwa
nation adalah jiwa dan prinsip spiritual yang menjadi sebuah ikatan bersama,
baik dalam hal kebersamaan maupun pengorbanan.
ketika
melihat berbagai tindakan kekerasan yang terjadi di negeri ini, maka dimanakah
pancasila sebagai dasar negara? Dimanakah makna bhineka tunggal ika? Semuanya
telah diporak-porandakan sehingga muncul pertentangan di antara berbagai etnis,
suku, budaya dan agama. Peristiwa ini membuat masyarakat semakin tidak bebas
dalam melangsungkan hidupnya. Ketidakbebasan ini akhirnya disimpulkan sebagai
suatu gejala “homo homini lupus” yang dikatakan oleh Thomas Hobbes. Berbagai
tindak kekerasan yang terjadi negara Pancasila menunjukan bahwa bangsa ini
sedang mempraktikan homo homini lupus
bagi masyarakatnya.
3.
Konflik
Di Tanah Papua
Inti
dari setiap konflik adalah perbedaan kepentingan dan pendapat. Pihak yang satu
ingin mencari keuntungan sendiri tanpa memperhintungkan pihak lain. Perbedaan
pendapat dan kepentingan ini bisa menjadi sebuah gangguan yang luar biasa
dasyat jika tidak ada suatu dasar
kebersamaan yang membantu mengatasi masalah tersebut.
Konflik
di Tanah Papua sudah dimulai sejak Indoseia menguasai Papua pada tanggal 1 Mei
1963. Konflik yang terjadi di Tanah Papua hingga kini belum dituntaskan secara
komprehensif dan menyeluruh, kendati telah diupayakan penyelesaiannya melalui
berbagai cara. Cara penyelesaian konflik di Tanah Papua selalu berakhir dengan
kekerasan. Fakta sejarah di Papua memperlihatkan secara jelas dan gamblang
bahwa dalam rangka menyelesaiakan konflik Papua, pemerintah telah melakukan
sejumlah operasi militer secara besar-besaran di Tanah Papua, seperti Operasi
Sadar (1965-1967), Operasi Brathayudha (1967-1969), Operasi Wibawa (1969),
Operasi militer di Kabupaten Jayawijaya (1977),
Operasi Sapu Bersih I dan II (1981), Operasi Galang I dan II (1982),
Operasi Tumpas (1983-1984), dan Operasi Sapu Bersih (1985). Jalan kekerasan yang
ditempuh pemerintah dalam menyelesaikan konflik Papua juga dinyatakan melalui
operasi militer yang dilancarkan di Mapunduma (1996), dan peristiwa pelanggaran
HAM di Wasior (2001). Kekerasan masih dipakai pula oleh militer sebagai jalan
penyelesaian konflik seperti dinyatakan melalui operasi militer di Wamena
(2003) dan di Kabupaten Puncak Jaya (2004). Upaya penyelesaian konflik dengan
jalan kekerasan ini telah mengakibatkan jatuhnya banyak korban di kedua belah
pihak terutama di pihak Orang Papua khususnya mereka yang berada di
daerah-daerah terisolir. Kebanyakan konflik di Tanah Papua hanya dilihat sejauh
mata memandang. Namun dibalik apa yang terlihat tersimpan begitu banyak konflik
yang seolah-olah terus ditutup-tutupi. Fakta menunjukkan bahwa penyelesaian
konflik di Tanah Papua tidak bisa lagi diatasi melalui jalan kekerasan, karena
kekerasan hanya menambah luka dan penderitaan bahkan korban di masyarakat
Papua.
Setelah
jalan kekerasan yang ditempuh pemerintah untuk menyelesaikan konflik Papua
tidak berhasil, maka pemerintah beralih ke Otonomi Khusus (Otsus). Pemerintah
menetapkan Undang-Undang No. 12 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Profinsi
Papua sebagai pengejawantahan dari ketetapan MPR RI No. IV/MPR/1999, dan
Ketetapan MPR RI No. IV/2000. Hal ini dipandang sebagai sebuah komitmen
nasional untuk dijadikan solusi yang realistis terhadap berbagai konflik yang
melatarbelakangi tuntutan kemerdekaan orang Papua. Namun pemberlakuan
Undang-Undang Otsus tersebut yang sudah berjalan 10 tahun tidak berhasil
menyelesaikan konflik yang terjadi di tanah Papua. Otsus hanyalah sebuah
dongeng yang dikisahkan pemerintah kepada rakyat Papua. Seluruh komponen
masyarakat Papua menyadari bahwa pemberlakuan Otsus hanya menambah derita dan
ketidak-percayaan kepada pemerintah. Bahkan setelah pemberlakuan Otsus pun
masih terjadi kekerasan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) diberbagai
daerah di Tanah Papua, seperti kasus Wasior (2003) yang menewaskan 4 orang dan
di Wamena (2005) yang mengorbankan 9 orang. Hal ini menjadi bukti bahwa
pemerintah telah gagal total dalam menangani konflik di Tanah Papua. Otsus yang
dikumandangkan pemerintah telah gagal total dan tidak memiliki arti lagi.
4.
Dialog
– sebuah langkah awal menuju kedamaian
Tidak
ada jalan lain untuk mengatasi konflik di Tanah Papua selain melalui dioalog.
Dialog merupakan jalan terakhir yang harus ditempuh bersama, antara pemerintah
dan segenap rakyat Papua dalam mengatasi konflik tersebut. seperti yang telah
ditegaskan diatas bahwa kekerasan tidak dapat lagi menyelesaikan masalah di
tanah Papua, melainkan hanya menambah luka dan korban. Sesungguhnya dialog sudah dicanangkan sejak
lama namun tidak pernah direalisasikan karena ada kemungkinan bahwa pemerintah
mencurigai akan adanya pembahasan tentang kemerdekaan dalam dialog tersebut.
sedangkan menurut Neles Tebay, ‘’pemerintah
Indonesia sebagai pemerintah dari suatu bangsa yang besar tidak mungkin mau
berdialog dengan orang Papua. Dia meyakini bahwa pemerintah belum meninggalkan
komitmennya untuk menyelesaikan konflik Papua secara menyeluruh dan
komprehensif melalui suatu dialog damai. Keyakinannya juga didasari pada
kenyataan bahwa pemerintah sudah mempunyai pengalaman dalam berdialog dengan
pihak separatis dan atau menfasilitasi dialog dan perundingan bagi kelompok dan
pemerintah di negara lain’’.
Jika
pemerintah sudah mempunyai sikap curiga terhadap orang Papua, maka perlu
diketahui bahwa orang Papua juga mempunyai sikap tidak percaya terhadap
pemerintah Indonesia. Sikap ketidakpercayaan orang Papua terhadap pemerintah
didasari pada janji-janji yang dilontarkan pemerintah kepada orang Papua dan
jarang dipenuhi. Sikap ketidakpercayaan ini sudah tercover pada setiap komponen
masyarakat Papua dengan mengatakan, “pemerintah baku tipu”. Hal ini menunjukan
bahwa orang Papua memandang pemerintah sebagai pembual belaka yang sudah berkalai-kali
membohongi mereka. Sikap ketidakpercayaan ini merupakan suatu kendala besar
yang perlu diatasi bila ingin menuju ke sebuah dialog damai.
Kita
semua telah mengetahui bahwa dialog telah dikumandangkan oleh kedua belah pihak
sudah sejak lama. Dari pihak pemerintah sendiri telah membuat sebuah komitmen
untuk menyelesaikan konflik Papua melalui dialog. Hal ini telah dinyatakan
secara public oleh presiden Yudhoyono
bahwa konflik di Tanah Papua harus diselesaikan secara damai dengan
mengutamakan dialog dan persuasi. Presiden Yudhoyono menegaskan pula dalam
pidato kenegaraan pada tahun 2005 bahwa “The
government wishes to solve the issue in Papua in a peaceful, just and dignified
manner by emphasizing dialogue and persuasion. The policy for the settlement of
the issue in Papua is placed on the consistent implementation of the special
autonomy, as just, comprehensive and dignified solution”. Sejalan dengan komitmen
pemerintah di bawah kepemimpinan Yudhoyono, Hassan Wirayuda selaku menteri Luar
Negeri (Menlu) menegaskan bahwa pemerintah Indonesia mengutamakan solusi tanpa
kekerasan dalam mengatasi konflik Papua: “The
sucessfull peace process in Aceh should inspire a similiar move for a
non-violent solution in Papua”. Pernyataan-pernyataan yang diungkapkan oleh
pemerintah indonesia telah memperlihatkan sebuah sikap terbuka dan mau untuk
berdialog dengan orang Papua secara damai.
Sedangkan
dari pihak Papua yang telah diungkapkan oleh OPM dan ditegaskan kembali oleh
West Papua National Coalition for Leberation (WPNCL) bahwa “WPNCL will continue to seek internationally mediated negotiation with
the Republic of Indonesia as the best way resolving the angoing armed conflict
promoted by the Indonesian security forces and reversing the disastrous human
rights and spiraling health situation of the West Papuan people”. Dengan
demikian, diharapkan agar proses penyelesaian konflik di tanah Papua dengan
cara dialog bisa berjalan dengan lancar dan damai karena sudah ada kemauan dari
kedua belah pihak. Memang harus diakui bahwa konflik yang terjadi di Papua
bukanlah konflik ringan dan sepeleh, melainkan sebuah konflik yang begitu besar
dan berat sehingga diperlukan kesepakatan dari kedua belah pihak untuk
menyelesaikannya secara intensif dan menyeluruh.
III.
KESIMPULAN
Kekerasan
yang terjadi di negara Pancasila merupakan suatu proses pembelajaran agar kita
membuka mata untuk melihat dan menyelesaikannya secara damai baik melalui
dialog maupun yang lainnya tanpa harus ada kekerasan. Negara yang bersumber
pada Pancasila kiranya selalu berjalan searah dengan apa yang telah menjadi
pedoman dasar seperti yang telah dikatakan oleh Ernest Renan melalui tulisannya yang amat terkenal “What is
Nation?” yang mengatakan bahwa negara adalah jiwa dan prinsip spiritual yang
menjadi sebuah ikatan bersama, baik dalam hal kebersamaan maupun pengorbanan. Jika
hal ini sungguh dihayati oleh semua komponen, maka kekerasan yang selama ini
terjadi baik di Tanah Papua maupun di mana saja akan teratasi.
IV.
REFERENSI
Latif, Yudhi. Negara
Paripurna. Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila, Jakarta: Gramedia, 2011.
Magnis-Suseno, Frans. Etika politik. Prinsi-prinsip Moral Dasar Kenegaraan
Modern, Jakarta: Gramedia,
1987.
SKP Jayapura, Tim, Membangun Budaya Damai dan Rekonsiliasi,
Dasar Menangani Konflik di Papua, Tim
SKP Jayapura, 2006.
Tebay, Neles, Dialog Jakarta-Papua – Sebuah Perspektif Papua, Jakarta: SKP Jayapura, 2009.
Wahana, Paulus, Filsafat Pancasila, Yogyakarta: Kanisius, 1993.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar