Senin, 08 Oktober 2012

LATIHAN ROHANI untuk MENEMUKAN ALLAH


LATIHAN ROHANI untuk MENEMUKAN ALLAH

I.               PENDAHULUAN
Manusia diciptakan untuk memuji, menghormati dan mengabdi Allah, sehingga jiwanya diselamatkan. Itulah asas dan dasar! Dalam meditasi Ignasian, asas dan dasar merupakan latihan untuk memperoleh kesadaran tentang hidup dihadapan dan bersama Allah. Pengalaman ini, akan membuat kita memahami bahwa “Allah dapat dialami dalam seluruh ciptaan”[1] sebagaimana juga dikutip dalam Injil Yohanes yakni Firman itu telah menjadi manusia dan diam diantara kita (Yoh. 1:14). Dasar tersebut membuat kita sungguh mengalami tindakan Allah dalam hidup konkret. Tindakan Allah itu bersifat menciptakan dan mengarahkan manusia. Sebagai arah adalah membangun manusia dalam kebenaran sehingga menjadi satu di dalam Kristus.

II.           LATIHAN ROHANI
A.           HIDUP ROHANI
1.      Suatu pengalaman untuk hidup rohani
Banyak orang merasa gelisah dan berasumsi bahwa hidup mereka tidak berarti lagi. Kegelisahan yang mereka alami, dicari solusinya lewat sarana yang bisa mendatangkan kesenangan sesaat seperti: menonton sinetron, mendengarkan musik, makan dan minum sepuas hati, pergi ke tempat-tempat rekreasi dan bar, mencari uang hingga larut malam, dan sejenisnya. Sarana-sarana tersebut tidaklah buruk karena seseorang perlu membutuhkan hiburan dalam hidupnya. Namun hiburan tersebut tidak dapat dikatakan sebagai pemuas yang digunakan untuk mengimbangi kegelisahan hidup yang semakin parah dengan kondisi yang kering-kerontang. Karena hiburan itu hanya bersifat sementara dan tidak dapat digunakan sebagai sumber penghiburan. Dalam rangka mencari dan menemukan Tuhan guna mengimbangi kegelisahan hidup maka kita perlu melatih kehidupan rohani yang sudah mandeg dan terabaikan dengan latihan lohani.
Proses latihan rohani bertujuan mempersiapkan dan mengajak kita untuk mencari dan menemukan  kehendak Tuhan dalam pengalaman hidup kita, dengan kata lain menolong kita untuk mengikuti Kristus lebih dekat. Dengan mengikuti Kristus lebih dekat dan menjadikan Dia sebagai sahabat maka perjalanan kehidupan kita yang sebelumnya kering-kerontah akan berubah laksana mentari yang terbenam dibalik cakrawala penuh keanggunan. Itulah kehidupan sejati yang ditemukan dalam Kristus.

2.      Sebagai pedagogi hidup rohani
Ignasius dalam catatan pendahuluan pertama menggambarkan bahwa latihan rohani seperti olahraga karena dikatakan  sebagai berikut: “sebagaimana gerak jalan, jarak dekat atau jarak jauh dan lari-lari disebut latihan jasmani, begitu pula dinamakan latihan rohani setiap cara mempersiapkan jiwa dan menyediakan hati untuk melepaskan diri dari segala rasa lekat tak teratur dan selapasnya dari itu, lalu mencari dan menemukan kehendak Allah dalam hidup nyata guna keselamatan jiwa kita”.[2] Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa latihan rohani merupakan sebuah pedagogi hidup rohani yang perlu dibangun dan dibentuk melalui proses kehidupan sehingga dapat terlepas dari kelekatan tak teratur.

B.            STRUKTUR DINAMIS LATIHAN ROHANI
Latihan rohani merupakan sesuatu yang dinamis sehingga dalam latihan perlu ada pengawasan dari pembimbing yang berpengalaman. Latihan rohani dibagi menjadi empat bagian, yang disebut empat minggu. Pembagian tersebut hanyalah untuk menunjukan bahwa “latihan rohani terdiri dari empat langkah besar yang sesuai dengan dinamika sejarah keselamatan.”[3]
1.             Minggu I: dosa dan kerahiman Allah
Renungan atas dosa tidak terlepas dari belas kasih dan kerahiman Allah kepada umat manusia. Renungan ini tidak hanya mengajak dan membawa manusia ke dalam kesadarannya akan keberdosaan, melainkan juga ke dalam kesadaran yang semakin mendalam atas cinta kasih Allah. Kesadaran ini merupakan daya kekuatan dan landasan untuk hidup lebih baik serta maju dalam menjawab panggilan Allah di dalam Kristus.
Latihan rohani yang dijalankan ialah meditasi dengan daya jiwa. Agar latihan ini membawa hasil yang maksimal maka diberikan berbagai bantuan petunjuk tambahan yang tujuannya menciptakan suasana damai dalam batin. Bila latihan rohani dijalankan dengan baik dan semestinya maka akan terjadi gerakan-gerakan batin. Dinamika perjalanan tahap ini ditandai dengan permohonan rahmat rasa malu dan aib atas diri sendiri agar semakin merasakan betapa dalam dan besar cinta kasih Allah.

2.             Minggu II: mengikut Yesus
Renungan ini mengajak kita agar lebih dalam mengenal pribadi Yesus Kristus serta memperjuangkan Kerajaan Allah sebagai pilihan utama dalam hidup. Jalan yang perlu ditempuh demi memperjuangkan Kerajaan Allah ialah jalan kemiskinan, ketaatan, dan kemurniaan. Agar pilihan tersebut sungguh dekat dengan pilihan Yesus, maka kita diajak untuk mengadakan latihan tiga macam kerendahan hati yang merupakan pengolahan hati dan afeksi seseorang untuk mencintai apa yang dicintai oleh Tuhan. Selama latihan rohani semua ini akan dialami dalam proses gerak-gerak batin dan rohani. Dinamika internal perjalanan doa selama minggu ini ialah permohonan rahmat agar semakin mengenal dan terbuka kepada Yesus sehingga semkin mencintai dan mengikuti-Nya.

3.             Minggu III: kesengsaraan Yesus
Dalam renungan ini, kita dibawa masuk ke misteri terdalam pergulatan Allah dalam kemanusian untuk menegakkan hidup berdasarkan nilai-nilai Kerjaan Allah sebagai konsekuensi atas pilihan yang dibuat. Dengan merenungkan misteri salib dalam perspektif pedagogi iman maka kita diharapkan untuk semakin menyerahkan diri dan masuk ke dalam jalan pilihan Tuhan sebagai tindak lanjut dari keputusan yang sudah diambil dalam latihan-latihan yang lalu. Oleh karena itu, dinamika perjalanan selama sepekan ini ialah ditandai dengan permohonan rahmat kesusahan dan kesengsaraan bersama Yesus.



III.        PERGI MENYERTAI DIA
A.           DOSA
1.             Dosa asal
Gereja mengajarkan bahwa setiap manusia lahir dalam keadaan dosa dan terpisah dari Allah. Keadaan ini disebut dosa asal yang berarti tidak berdasarkan kesalahan sendiri, melainkan karena lahir dalam keadaan konkret umat manusia yang berupa keadaan dosa. “Yesus Kristus wafat di kayu salib merupakan salah satu bentuk solidaritas-Nya dengan umat manusia yang harus mati karena dosa.”[4] Situasi keberdosaan ini sering disebut sebagai dosa asal. Teologi modern menerangkan kesatuan dalam dosa tersebut bukan saja secara biologis, psikologis atau pun sosiologis melainkan secara teologis yakni berdasarkan kesatuan semua orang dalam rencana keselamatan. Menurut rencana Allah bahwa semua orang dari semula bersatu dalam tujuan hidup kearah kesamaan dengan Kristus (lih. Rm 8:29).

2.             Manusia jatuh ke dalam dosa
“Allah memberikan kebebasan kepada manusia untuk memuji dan memuliakan Dia. Namun kebebasan itu disalahgunakan oleh manusia dengan memilih melawan Allah.”[5] Perlawanan manusia inilah yang disebut sebagai dosa. Perbuatan ini dikisahkan secara nyata dalam Kej. 3:1-24. Dosa berakar di hati manusia dan membuat dirinya berdaulat dalam kebebasan. Kebebasan ini disalahgunakan sehingga “dari hati datanglah pikiran jahat, pembunuhan, perzinahan, pemerkosaan, pencurian...” (Mat. 15:19). Manusia perlahan memisahkan diri dari Allah melalui dosa. Dosa merupakan isolasi radikal yang membuat manusia jauh dari sumber kehidupan dan membuat dirinya sebagai tujuan serta pusat hidup dari segala tindakan.
Dosa tidak hanya berdampak pada hubungan pribadi, tetapi mengejawantah dalam masyarakat luas seperti kebencian, kedengkian, kemalasan, percabulan, permusuhan, perang, bahkan pembunuhan, sebagaimana dalam Kitab Kejadian dosa di taman Firdaus yang diikuti oleh pembunuhan Habel (Kej. 4).  Dosa merupakan simbol keruntuhan dunia.[6] Sehingga St. Ignatius menghendaki dalam buku latihan rohani agar kita bermeditasi tentang dosa. Sebab di sinilah letak titik tolak latihan rohani yang sebenarnya yakni kita perlu “menyadari diri sebagai mahkluk yang memiliki asas dan dasar”[7] namun dihancurkan oleh dosa. Permenungan ini mengajak kita untuk mengalami Allah secara personal dan melihat betapa besar kerahimanNya kepada kita yang mau kembali menjadi anak-anak Allah.

B.            PERGI KE PADANG GURUN
1.             Pengalaman di padang gurun
Sekitar awal abad ke-4, orang-orang kristen mengikuti jejak Kristus dengan menjalani hidup tapa di padang gurun. Di sana mereka menghadapi godaan-godaan iman yang hebat.[8] Dengan cara yang sama, kita ditantang untuk memeriksa dan melihat ke dalam kegersangan padang gurun hati kita sendiri. Ketika pertama kali kita memasuki padang gurun, tampak sepi dan kosong; hanya sedikit yang dapat dilihat dan didengar.
Saat berada dan tersesat di padang gurun, kita dihampiri penderitaan dan godaan yang terus meresap ke dalam hati serta menciptakan ruang kosong yang perlu diisi dengan alkohol, narkoba, obat penenang dan hubungan sex yang serempangan. Kita mengalami kegersangan Rohani, merasa bahwa Tuhan tidak bersama dengan kita atau kehilangan Tuhan, bahkan kepekaan terhadap diri sendiri pun bisa turut hilang. Dalam krisis yang demikian, kita menginginkan agar segala sesuatu cepat berlalu tetapi betapa ini sebuah keinginan yang tak mungkin bisa terjadi, karena tersesat di padang gurun berarti berhadapan langsung dengan krisis tersebut.
Ketika terpuruk dan tak berdaya, kita mulai bertanya dalam diri “apakah ada garis akhir dari semuanya ini? Dalam arti tertentu ada. Di saat kita sungguh percaya bahwa padang gurun ini merupakan tempat pemurnian dan peralihan menuju kebahagian maka perlahan-lahan kita keluar dari tanah kosong yang gersang dan memasuki tanah lapang yang subur dan ramah. Hati kita disembuhkan dan menemukan tujuan yang baru serta belajar mencintai lagi. Tetapi, dalam artian yang lain kita sebenarnya tidak pernah meninggalkan padang gurun, melainkan menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya.

2.             Bersama Yesus di padang gurun
Kitab Suci menceritakan bahwa Yesus dalam pengalaman hidup-Nya pun turut merasakan padang gurun sebagaimana dirasakan manusia. Sebelum awal karya keselamatan umat manusia, Yesus pergi ke sungai Yordan dan dibabtis oleh Yohanes kemudian Roh Kudus menuntun-Nya ke padang gurun untuk dicobai. Yesus ditantang dan dicobai selama empat puluh hari untuk mampu mengalahkan keinginan daging-Nya. Yesus pun berhasil mengalahkan godaan tersebut. Dengan pengalaman yang sama, kita ditantang pula agar bisa melawan keinginan daging dan hawa-nafsu tak teratur yang melekat dalam diri kita.[9] Sebab barangsiapa yang mau mengikuti Yesus, pertama-tama harus menyangkal dirinya dan memikul salib kemudian baru mengikuti-Nya. Pengalaman padang gurun mengajak kita untuk selalu bersama Yesus baik dalam suka maupun duka sebagaimana Dia sendiri berkata “Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku tinggal di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa” (Yoh 15:5).

3.             BERTEMU DENGAN YESUS
1.    Sebagai awam
Kehidupan dan keberadaan Yesus selama di dunia adalah sebagai seorang awam. Dia tidak tergolong dalam kelas atas maupun kelas imam. Kehidupan Yesus sebagai seorang awam terus memotivasi diri-Nya untuk berkeliling mewartakan Kerajaan Allah tanpa sanksi atau pun dukungan instansi mana pun. Satu-satunya dukungan adalah Bapa-Nya di Surga. Sebagai orang awam, Yesus merasa akrab dengan rakyat kecil. Dia sering mengikuti pesta rakyak (bdk. Yoh 2:1-12) dan amat dekat dengan kaum miskin. Walaupun demikian, Yesus tidak menutup diri untuk bergaul dengan masyarakat kalangan atas (bdk. Luk 14:4-14).
Dalam Gereja Katolik, “orang awam kerap kali diperikan dari sudut negatif sebagai orang Kristiani yang bukan imam dan biarawan-biarawati”[10] sehingga tidak memiliki kedudukan dalam hierarki Gereja. Selama berabad-abad Gereja terlalu banyak diperintah oleh sistem hierarki sehingga sikap kaum awam sering menjadi pasif bahkan tidak diperhitungkan. Hal inilah yang mau ditekankan dari kehidupan Yesus bersama orang awam bahwa mereka bukanlah orang terpinggir yang hanya dipandang sebelah mata. Melainkan mereka adalah satu dan sama dengan kita, sehingga sikap saling menerima dan cinta kasih harus ditumbuhkan dalam kebersamaan. Keprihatinan yang dialami Yesus bersama orang miskin baru diperbaharui dalam Konsili Vatikan II yang melihat dirinya yakni Gereja sebagai “sakramen penyelamatan” bagi dunia. Dengan demikian, Gereja membuka diri untuk “merasul bersama kaum awam dalam memberitakan Kerjaan Allah.”[11]

2.    Sebagai Imam
Imam adalah anggota masyarakat beriman yang mengambil bagian dalam panggilan serta misi bersama para pengikut Kristus: “Bersama semua yang lahir kembali dalam jambangan baptis, imam adalah saudara di tengah saudara-saudara dan anggota tubuh Kristus yang semuanya diperintahkan untuk membangun” (Presbyterorum Ordinaris n. 9). Oleh karena itu, kaum awam jangan memandang imam sebagai orang yang memiliki kedudukan istimewa melainkan sebagai saudara yang mengemban tugas pelayanan suci. Sebagaimana yang dikutip dari kata St. Augustinus yakni “Aku sungguh-sungguh gentar oleh apa artiku bagi kalian, tetapi aku terhibur oleh apa artiku jika aku bersama kalian. Bagimu aku adalah uskup, bersama kalian aku adalah seorang Kristiani. Yang pertama adalah tugas, yang kedua adalah rahmat. Yang pertama adalah resiko, yang kedua adalah keselamatan” (Lumen Gentium n. 32).
“Dalam hubungan persaudaraan, imam dan kaum beriman tidak boleh mengaburkan tugas khusus imam sebagai pelayan Gereja.”[12] Sebab sejak awal para rasul telah dipilih untuk membimbing jemaat dalam Roh Yesus yang kemudian diemban oleh Trimatra.[13] Tugas dan tanggungjawab ini dilaksanakan dalam berbagai bentuk. Dalam memenuhi tugas dan tanggungjawab serta misinya, Gereja membutuhkan pribadi-pribadi yang di depan umum senantiasa bertanggungjawab untuk menunjukan ketergantungan hakikinya pada Yesus Kristus dan dengan demikian memberikan fokus kesatuannya dalam keanekaragaman anugrah. Pelayanan orang-orang seperti ini sejak awal mula telah ditahbiskan sebagai unsur pokok untuk kehidupan dan kesaksian Gereja.

IV.        PENUTUP
Kerinduan besar untuk mengenal Allah, bukan lagi lewat buku-buku atau konsep-konsep tetapi dalam diri sebagai permulaan hidup rohani. Manusia sesungguhnya terbakar oleh kerinduan untuk mencapai lansung, melihat, menyentuh dan merasakan Dia yang datang diantara kita. Dengan demikian, Allah sesungguhnya berada di depan mata kita sebagai yang hidup, menyapa dan bertindak sehingga keberadaan-Nya tidak perlu membutuhkan pembuktian atau pun pemberitahuan. Kita mengalami Allah dalam perjumpaan personal yang cukup pada dirinya dan Allah rela dikenal dan dimengerti serta tidak memerlukan jaminan dari luar perjumpaan tersebut.

REFERENSI
Dister, Nico Syukur. Pengantar Teologi. Yogyakarta: Kanisius, 2007.
Dokumen Konsili Vatikan II, Dekrit “Apostolicum Actuositatem” Tentang Kerasulan Awam, terj. R. Hardawiryana. Jakarta: Obor, 2004.
Hamma, Robert M. Seni Berproses Dalam Krisis. Jakarta: Obor, 2002.
Kirchberger, Georg. Allah: Pengalaman Dan Refleksi Dalam Tradisi Kristen. Maumere:   Arnoldus, 2000.
Konferensi Wali Gereja Indonesia. Iman Katolik. Yogyakarta: Kanisius, 2007.
Loyola, Ignasius. Latihan Rohani, terj. J. Darminta. Yogyakarta: Kanisius, 1993.
Marsunu, Seto. Dari Penciptaan Sampai Babel. Yogyakarta: Kanisius, 2008.
Neuner, J. Pergi Menyertai Dia. Jakarta: Obor, 2000.
Sudrijanta, J. Meditasi Sebagai Pembebasan Diri. Yogyakarta: Kanisius, 2011.




[1]Georg Kirchberger, Allah: Pengalaman Dan Refleksi Dalam Tradisi Kristen (Maumere: Arnoldus, 2000), hal.57
[2] Ignasius Loyola, Latihan Rohani, terj. J. Darminta SJ (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hal. 9.
[3] Ibid., hal. 17.
[4]Konferensi Wali Gereja Indonesia, Iman Katolik (Yogyakarta: Kanisius, 2007), hal. 282.
[5] Nico Syukur Dister, Pengantar Teologi (Yogyakarta: Kanisius, 2007), hal. 45.
[6] Bdk. Seto Marsunu, Dari Penciptaan Sampai Babel (Yogyakarta: Kanisius, 2008), hal. 127.
[7]Ignasius, Op. cit., hal. 18.
[8]Robert M. Hamma, Seni Berproses Dalam Krisis (Jakarta: Obor, 2002), hal. 4.
[9] Bdk.  J. Sudrijanta, Meditasi Sebagai Pembebasan Diri (Yogyakarta: Kanisius, 2011), hal. 28.
[10] J. Neuner SJ, Pergi Menyertai Dia (Jakarta: Obor, 2000), hal. 29.
[11] Dokumen Konsili Vatikan II, Dekrit “Apostolicum Actuositatem” Tentang Kerasulan Awam, terj. R. Hardawiryana SJ (Jakarta: Obor, 2004), hal. 349.
[12] Neuner, Op. cit., hal. 36.
[13] Trimatra adalah struktur pelayanan dalam Gereja yang disebut sebagai uskup, imam dan diakon. Struktur pelayanan tersebut baru diterima di mana-mana oleh jemaat sejak abad II dan III.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar